Apa atau Mengapa

KompasKita - Satu hari, rekan-rekan disuguhi masalah yang menanyakan berapakah luas permukaan kaki gajah yang dibutuhkan untuk meningkatkan dongkel hidrolik. Sesudah beberapa jam bergelut dengan angka dan nalar, pada akhirnya kamu mendapati jawabannya. Ah, benar-benar satu kepuasan.

Tunggu, dari susahnya masalah barusan, kamu termenung lalu menertawai diri kita sekalian menanyakan, "Apa saat lulus kelak, saya perlu ketrampilan menghitung kaki gajah?" Tetapi ya biarlah, tidak perlu menanyakan hal semacam itu asal mendapatkan nilai bagus, pikirmu.

Nilai, nilai, dan nilai. Mimpi tiap siswa ialah jadi orang sukses, lebih persisnya orang sukses yang lulus dari perguruan tinggi negeri. Masuk perguruan tinggi negeri perlu apa? Nilai. Tidak salah memang, memakai satu standard sebagai kwalifikasi yang dibutuhkan, tetapi apa sebetulnya nilai itu? Apa fungsinya belajar? Apa faedah angka pada rapor akhir semester yang kamu terima itu?

Kembali lagi kita memakai kata bertanya ‘apa.' Hal sekecil ini rupanya sudah seharusnya jadi panduan besar berkenaan pengajaran Indonesia. Pada tiap evaluasi, kita seringkali menanyakan, "Apa yang hendak didalami, Bu?" atau "Pak, apa rumus untuk menjawab masalah ini?" Tetapi sudah pernahkah rekan-rekan berani melemparkan pertanyaan, "Kenapa kita belajar ini, Pak?"

Kita cuma kerjakan pekerjaan yang diberi tanpa perduli akan korelasinya pada kehidupan kita nanti. Oleh karenanya, banyak pernyataan jika apa yang kita dalami sekarang, tidak ada fungsinya di periode depan. Pasti pengakuan itu salah, tetapi tidak sepenuhnya. Kenapa dapat begitu?

Silahkan kita kupas perlahan-lahan, kemungkinan dapat diawali dengan menanyakan diri rekan-rekan sendiri berkenaan apa arah kamu belajar. Percaya, untuk menambahkan pengetahuan? Tidak untuk mendapatkan rangking paling tinggi di kelas?

Kenyataannya, penghargaan di sekolah diberi untuk pelajar yang mendapat nilai bagus pada setiap pelajarannya. Sebagai manusia, siapakah yang tidak ingin mendapatkan piala? Tetapi rupanya, nilai bagus dan piala tidak seberharga itu dalam kehidupan.

Arah pengajaran untuk membuat benteng pertahanan diperjalanan hidup teman-teman. Maka bila kamu terlampau konsentrasi pada angka untuk validasi dari sekolahmu, tanpa ketahui bagaimanakah cara jalani hidup ini, maaf teman, kau tidak siap terima bertanggung jawab keberhasilan dan ketidakberhasilan. Skema berpikir yang keliru ini menjadi batu sandungan rekan-rekan dalam tingkatkan kualitas pengajaran di Indonesia. Bila kita sebagai pemegang masa datang bangsa dapat terganjal, bagaimana nasib negeri ini yang akan datang?

Bicara masalah kualitas, dibuatlah PISA, yakni satu asesmen Internasional yang dipakai untuk ketahui perubahan pengajaran setiap negara. Selamat, Indonesia tempati posisi delapan! Dari belakang.

Walau sebenarnya, jumlah siswa selalu bertambah dari tahun ke tahun. Kenaikan jumlah siswa ini pasti harus searah dalam jumlah pendidik yang berkualitas. Tetapi, nilai yang jadi standarisasi barusan punyai dampak besar untuk guru. Guru di Indonesia kenyataannya cuma penuhi kwalifikasi sebagai ASN (Aparat Sipil Negara) tanpa terdapat bukti faktual berkenaan kualitas edukasi yang diberikan.

Disamping itu, kurikulum yang dipakai di Indonesia tidak dapat sesuaikan dengan arus pengajaran internasional. Faksi pembikin kurikulum terlalu konsentrasi memburu ketinggalan yang ada karena tertimpangan jumlah siswa dan kualitas pendidik yang sudah disebut sebelumnya. Mengakibatkan, cara pengajaran Indonesia terhambat. Walau sebenarnya semestinya misi visi pengajaran kita berpengaruh pada dunia.

Serangkaian pengakuan di atas tidak untuk menyudutkan satu pihak. Siswa Indonesia tidak bodoh. Faktanya anak-anak Indonesia banyak yang suka belajar sains, namun tidak dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan. Kualitas pendidik Indonesia pun tidak jadi akar masalahnya karena ide merdeka belajar saat ini menggerakkan pelajar untuk bebas cari beragam sumber pengetahuan dari jumlahnya media yang tersedia. Maka apa yang kita harus kerjakan untuk pengajaran bangsa ini?

Terus bertanya. Sama dengan dari sejak awalnya tulisan ini dibuat. Banyak lemparan pertanyaan yang diuraikan. Kita sebagai manusia yang berkembang, harus terus krisis dan menanyakan tiap hal yang ada tanpa ragu. Dengan makin bertambah menanyakan, kita memaksakan diri untuk mendapati jalan keluar hingga menambahkan kualitas kita sebagai pelajar.

Lepas dari pertimbangan krisis, kita harus juga masih tetap percaya diri dan terbuka pada peralihan yang ada. Kurikulum yang mungkin buruk, dapat diperbarui dengan ide anak muda yang berani mengumandangkan isi pikirannya.

Sudut pandang kita pada nilai harus juga dapat digeser dengan bagaimanakah cara kita mengutamakan materi yang kiranya dapat dituangkan di kehidupan kita. Ganti stereotipe klise berkenaan keberhasilan yang disaksikan dari sekolah yang mana jadi tempat belajar kita. Nilai sekedar hanya angka dan sertifikat kelulusan cuma mengisyaratkan jika kamu pernah jadi pelajar. Pada pada akhirnya, pengajaran harus dijadikan argumen kita untuk selalu belajar dan sedikit jumlahnya kelak kita menjadi sisi dari perkembangan pengajaran bangsa yang berpengaruh untuk dunia.


Sumber :

https://www.kompasiana.com/bryanitazizah/60915453d541df61bc1fd222/berbicara-tentang-pisa dalam-pendidikan-di-indonesia?page=3&page_images=1

https://kastara.id/09/06/2021/kualitas-guru-pengaruhi-kualitas-pendidikan-di indonesia/#:~:text=Menurut%20survei%20dari%20PERC%20

https://mahasiswaindonesia.id/rendahnya-kualitas-pendidikan/


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url